Getar-Getir Kehidupan Nelayan Bagan Terapung Desa Muara Dua

    Sang mentari menunjukan cahaya  kekuningannya, Kehidupan pagi masyarakat Kp.Tanjung Panto tepatnya di Desa Muara 2 telah berlangsung,sementara itu terlihat beberapa nelayan menyandarkan perahu-perahu mereka ketepian dermaga, kepulangan para nelayan disambut gembira oleh para pedagang yang sudah menunggu mereka sejak pagi buta,.




   
Kami mencoba mewawancarai beberapa nelayan yang terlihat sedang mengamati kondisi perahunya, tubuh mereka tak lagi muda, mereka terlihat cemas. Apa yang mereka Pikirkan?
 "Kami biasa melaut dari jam setengah lima sore sampai subuh" jelas seorang nelayan yang berhasil kami temui.

 Nelayan Kampung Tanjung Panto biasa menghabiskan waktu tidur mereka dengan aktifitas malam,berbaur dengan angin selatan yang begitu terkenal keganasannya, namun tak jarang hasil tangkapan Ikan Teri,Anakan Udang (Benur),dan ikan besar tidak seberapa.   Hal itu dikarenakan adanya kepercayaan masyarakat Desa Muara 2 tentang Bulan Sepi dan Bulan Teduh, menurut mereka pada bulan sepi tangkapan mereka biasa berkurang,dan pada bulan teduh hasil tangkapan mereka bisa dikatakan memenuhi kapasitas. Kami seolah tak percaya, ikan-ikan yang biasa kami makan adalah hasil dari cucuran keringat mereka selama semalaman menjaring hasil laut Indonesia. Sudah pantaskah negara ini kita banggakan sebagai kolam susu? Dan benarkah Kail dan Jala cukup menghidupimu?   Pil pahit yang harus kita terima,bahwa Indonesia belum bisa mandiri dalam sektor ekonomi, mungkin jika kita melihat dengan satu sudut pandang, ya kehidupan nelayan begitu cukup bersahaja,namun kita tidak peduli  seperti Nelayan di Kampung Tanjung Panto ini?   Jika malam menjelang,sejauh mata memandang,lautan dihiasai cahaya kemarlap kemerlip yang berasal dari lampu seadanya. Bukan perahu tongkang yang menjadi tempat mereka,bukan pula tempat-tempat nyaman layaknya markas pengeboran minyak.


BAGAN SETENGAH JADI
           Tetapi mereka hanya menggunakan sebuah gubuk yang berbentuk Persegi dengan atap yang terbuat dari daun kirai dan terdapat tong-tong yang disusun sebagai pelampung,warga setempat biasa menyebut bangun tersebut sebagai "bagan"   Bagan yang mereka gunakan adalah bagan terapung,dimana seluruhnya terbuat lebih dari dua ratus batang bambu. Alat penting yang mereka gunakan hanyalah seutas jaring yang ditenpatkan dibawah alas bagan,sedangkan untuk memantau jaring, mereka biasa menggunakan sebuah lubang berbentuk segi empat dibagian alas bagan.   Salah seorang diantara kami mencoba merasakan sensasi angin laut selatan itu, ternyata sangat sulit untuk beradaptasi dengan jenis angin ini.

  Tak selang beberapa menit kami merasakan mual,jika kami melihat kearah lautan,maka kami dapat melihat gerak semu seolah-olah bagan bergerak mengikuti arah arus laut. Bukan hanya gerak semu saja, hadangan angin yang menabrak tubuh kami terasa begitu dahsyat, mari bayangkan bagaimana keadaan mereka saat melaut???     Jika bagan yang berada ditengah laut cukup berisiko, lalu bagaimana dengan transportasi mereka kesana kemari dilautan lepas?


 Mari kita kenalan dengan "Kincang"



 

 Kincang biasa digunakan masyarakat sekitar untuk transportasi dari laut kedarat maupun sebaliknya. Kincang adalah perahu kecil yang terbuat dari beberapa tong yang dibelah dan hanya direkatkan dengan lem khusus yang mampu berperan sebagai water resisstant. Jika dilihat dari segi keamanan,maka Kincang sangatlah berisiko untuk gelombang tinggi,hal itu dikarenakan satu-satunya kemudi sekaligus alat yang digunakan untuk menggerakan kincang hanyalah sebuah dayung, mirisnya para nelayan sudah terbiasa dan tidak mengkhawatirkan resiko terburuk yang bisa  menimpa mereka,sepertinya harga satu kilo ikan tidak sepadan dengan bahaya yang menghadang. Bukan hanya itu saja,beberapa nelayan terpaksa meminjam modal dari para pemilik modal. Dimana para nelayan harus merelakan hasil tangkapannya ditampung atau hanya dibeli oleh pemilik modal tersebut. Mereka layaknya hanya menjadi bayang-bayang si pemilik modal. Tak seberapa yang bisa mereka dapatkan dibanding menjual hasil tangkapannya kepada para pembeli langsung.
   
 
Namun ada juga beberapa nelayan yang tergabung dalam satu kelompok, dimana modal dan biaya dilakukan dengan sistem patungan, hal ini bisa saja memangkas biaya mereka, namun sayangnya tak selamanya ikan dilautan dalam kondisi baik.  Sebenarnya untuk tahun-tahun sekarang,yang bisa mereka andalkan adalah Benur (Udang Kecil). Para nelayan biasa menangkap benur pada malam hari, Benur akan tertarik dengan cahaya terang dari lampu LED 12 watt yang terpasang sisi tiang bagan mereka yang mengarah kedasar laut,selain itu nelayan juga memanfaatkan lampu LED yang menghasilkan Dim (kedipan) dengan frewuensi waktu yang konstan.   Namun sayang, pada saat Tim kami meliput kegiatan para nelayan, keadaan musim sedang pada musim sepi. Pada musim seperti sekarang ini,mereka mensiasatinya dengan menarik bagan mereka ketengah lautan,berharap hasil yang mereka dapatkan akan lebih banyak. Kami mencoba mencari informasi tambahan dari beberapa narasumber. Hal yang dapat kami simpulkan adalah, mereka menggunakan cahaya bulan sebagai tolak ukur untuk posisi bagan, meskipun pada saat terang bulan adalah musim paceklik,namun harga ikan sedang naik,hal itu disebabkan sukarnya ikan yang di dapat. Jika kita melihat dalam sisi ilmu bumi modern, maka musim sepi dan musim teduh mengacu pada pembagian musim yang ada di Indonesia. Dimana musim Teduh adalah priode musim penghujan, hal ini bukan tanpa alasan, karena pada musim penghujan ikan-ikan akan tertarik naik kepermukaan.sedangkan musim sepi adalalah periode musim kemarau,dimana pada musim ini ikan-ikan akan turun kedasar laut.




Comments

Popular posts from this blog

REVOLUSI INDUSTRI

Kisah Seorang Putri